Sabtu, 10 Oktober 2009

Oleh: A. Adib Masruhan*

Selama 2006, tercatat ada 1.975 perempuan Jateng menjadi korban kekerasan berbasis gender. Mereka umumnya mengalami kekerasan baik fisik, psikologis maupun seksual. Hal itu diungkapkan Divisi Monitoring Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan HAM (LCR-KJHAM) Fatkhurozi, jum’at 24/11 (SM 25/11 hal 3 kolom 1)
Berita tesebut membuat keprihatinan bagi aktivis keadilan jender semakin bertambah, bahkan bukan mereka saja yang ikut sedih memikirkan bahwa kaum perempuan banyak hak haknya terintimidasi oleh kaum lelaki (suami), karena selama ini difahami oleh masyarakat bahwa perempuan akan selalu menjadi korban dalam urusan keluarga, karena ditinjau dari norma agama maupun undang undang negara, mulai dari semenjak dipinang hingga dicerai, hukum selalu berpihak kepada lelaki, hal itu disebabkan penyusun hukum dan undang undang selalu didominasi oleh kaum lelaki, hingga justifikasi selalu menguntungkan pihaknya. Namun benarkah seperti itu hukum yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia (yang dikatakan sebagai rahmatan lil alamin), bukankah lelaki maupun perempuan adalah makhluk Allah yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama? Saling mencinta dan dicinta?

Pernikahan seorang gadis.
Pernikahan sebagai mana dipahami oleh masyarakat Islam (mungkin dari kitab kuning) bahwa perempuan harus menunggu untuk dilamar dan dinikahkan, harus menurut apa yang dikehendaki oleh orang tua atau wali, tanpa mengindahkan peran dan hak haknya. Padahal kalau kita menilik berbagai peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW bahwa pernikahan yang sah dan direstui oleh beliau, harus memenuhi persyaratan yang diatur oleh Syariat (aturan beliau), yaitu adanya kesepakatan atau persetujuan dari tiga pihak; calon penganten lelaki, orang tua atau wali, serta penganten perempuan. Bila salah satu dari tiga unsur ini ada yang tidak mau memberi persetujuan alias menolak maka penikahan itu sendiri tidak bisa terlaksana atau batal.

عن أبي هريرة: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال:لا تنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا: يا رسول الله وكيف إذنها قال: أن تسكت
صحيح البخاري ج: 5 ص: 1974

“Dari Abi Hurairoh, bahwasanya Nabi SAW bersabda: Seorang janda tidak dinikahkan sehingga memintanya sendiri, dan seorang perawan tidak dinikahkan kecuali diminta persetujuanya, ditanyakan: Ya Rasulallah bagaimana persetujuanya? Jawab beliau: Kalau diam.” (HR Bukhori 5:1974)
Disini ditegaskan oleh Rasulullah SAW bahwa orang tua atau wali tidak bisa seenaknya sendiri menikahkan anaknya tanpa dikonfirmasikan terlebih dahulu sikap dan pendapatnya atas pernikahannya dengan seorang pria, begitu pula pernikahan tidak bisa terlaksana bila sang wali menolak mempelai pria yang dianggap kurang sepadan, terutama mempelai pria harus benar benar menginginkan pernikahan tersebut.
Pernah ada pelanggaran atas aturan tersebut pada masanya, dengan pemaksaan terhadap para gadis dinikahkan oleh orang tuanya tanpa persetujuan dari dirinya:

عن ابن عباس: أن جارية بكرا أنكحها أبوها وهي كارهة، فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم
سنن الدارقطني ج: 3 ص: 234

“Dari Ibn Abbas: terjadi seorang gadis dinikahkan oleh Bapaknya, sedang dia menolak, maka oleh Rasulullah SAW gadis tersebut diberi hak memilih (antara menerima nikah dan tidak)” (HR Daruqutni 3:234)

Bisa difahami dari hadits ini bahwa persetujuan dari calon mempelai perempuan menjadi syarat untuk sahnya sebuah pernikahan, dan dalam hadits yang lain juga diceritakan:

عن أبي سعيد الخدري أن رجلا جاء بإبنته إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: هذه ابنتي أبت أن تتزوج، فقال: أطيعي أباك، أتدرين ما حق الزوج على الزوجة لو كان بأنفه قرحة تسيل قيحا وصديدا لحسته ما أدت حقه، فقالت: والذي بعثك لاأتزوج، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تنكحوهن إلا بإذنهن
سنن الدارقطني ج: 3 ص: 237

“Dari Abi Said Al Khudlri berkata: Seorang lelaki datang melaporkan anaknya kepada Nabi SAW sambil berkata: ini adalah anakku, dia menolak kukawinkan. Menanggapi orang tersebut Nabi SAW berkata: taatilah orang tuamu, tapi tahukah engkau hak hak suami atas isteri? Bila luka hidungnya mengengeluarkan nanah dan sang isteri menjilatinya untuk membersihkan itu belum sampai keukuran bakti (belum memenuhi tugasnya), perempuan tersebut mengatakan: Demi Dzat yang mengutus engkau, saya tidak akan menikah. Rasulullah SAW bersabda: jangan kalian nikahkan mereka (perempuan) tanpa persetujuanya” (HR Daruquthni 3:237)


عن عائشة أن فتاة دخلت عليها فقالت: إن أبي زوجني ابن أخيه ليرفع بي خسيسته وأنا كارهة، قالت: اجلسي حتى يأتي النبي صلى الله عليه وسلم، فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فأخبرته، فأرسل إلى أبيها فدعاه، فجعل الأمر إليها، فقالت يا رسول الله قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم اللنساء من الأمر شيء
سنن النسائي (المجتبى) ج: 6 ص: 86

“Dari Aisyah, bahwa seorang gadis datang kepadanya sambil bercerita bahwa bapaknya menikahkan dirinya dengan keponakanya untuk menghilangkan kesan kurang baik dirinya, sedangkan gadis tersebut menolak, Aisyah berkata: duduklah dan tunggu sampai Rasulullah SAW datang. Setelah beliau datang dan diberitahu permasdalahannya, maka dipanggillah orang tuanya, dan Rasulullah SAW mengembalikan pernikahan (berlangsung apa tidak) kepada gadis tersebut, diapun berkata: Ya Rasulullah, saya setuju dengan keinginan bapak, namun saya ingin memberitahu bahwa perempuan mempunyai hak atas dirinya tentang hal ini” (HR Nasai 6:86)

Peristiwa yang dipaparkan dalam hadits ini menjadi semakin jelas, bahwa Rasulullah SAW memanggil wali dari gadis tersebut, karena pernikahan tanpa ijin mempelai perempuan tidak dapat dilangsungkan, sehingga permasalahan nikah tersebut diserahkan kepada mempelai perempuan, namun dipihak sang gadis berbalik menyetujui kehendak bapaknya untuk menikahkan dirinya dengan pilihan bapaknya, sambil mengatakan: aku lakukan hal ini agar para wanita tahu bahwa perempuan mempunyai hak untuk menolak keinginan wali / orang tua dalam hal pernikahanya. Bahkan Rasulullah SAW menceraikan / membatalkan pernikahan yang ada unsur pemaksaan terhadap seorang gadis oleh bapak.

عن عطاء بن أبي رباح قال: فرق رسول الله صلى الله عليه وسلم بين امرأة وزوجها وهي بكر أنكحها أبوها وهي كارهة
سنن الدارقطني ج: 3 ص: 234

“Dari Atho’ Ibn Abi Robah berkata: Rasulullah SAW memisahkan antara mempelai putri yang masih gadis dengan suaminya karena si mempelai putri menolak dinikahkan oleh bapaknya” (HR Daruquthni 3:234)

Sangat ironis sekali bahwa di era reformasi (abad ke duapuluh satu ini) masih ada seorang bapak memaksa putrinya untuk menikah dengan pria pilihan bapaknya.

Nikah janda.
Hal itu semua berkenaan dengan perkawinan yang berlaku bagi seorang gadis, sedangkan bagi seorang janda, dia tidak bisa dinikahkan hanya sekadar dipaksa, Rasulullah SAW pun memberi aba aba bagi seorang janda untuk tidak dinikahkan oleh sang wali kecuali minta untuk dinikahkan, bahkan dia bisa untuk menikahkan dirinya sendiri. Berbagai Hadits menunjukkan adanya aturan tentang pernikahan bagi seorang janda sebagai berikut:

عن بن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الأيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في نفسها وإذنها صماتها
صحيح مسلم ج: 2 ص: 1037

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi SAW berkata: Seorang janda lebih berhak atas dirinya (dalam menikah) dibandingkan dengan walinya, dan seorang gadis (harus) diminta persetujuanya (dalam nikah), persetujuanya adalah ditunjukan dengan diam” (HR Muslim 2:1037)

Dicontohkan beliau dalam menikahi Umi Salamah (seorang janda beranak banyak) sewaktu dilamar oleh Rasulullah SAW dia mengatakan: tak seorang dari wali ku hadir dikota ini, (yang ada cuma anaknya yang masih bocah bernama Umar yang berusia enam tahun), kemudian secara formalitas (bercanda?) dipaksakan sebagai wali, setelah ibunya mengatakan: Ayo Umar, nikahkan saya dengan Nabi SAW. Inilah seorang janda menikahkan dirinya kepada Nabi SAW tanpa kehadiran para wali nikah, dan pernikahan tersebut dilangsungkan oleh beliau. Ini pernikahan tanpa wali bagi seorang janda. (Syarah Maani Al Atsar 3:12). Begitu pula terjadi pada masa Ali Ibn Abi Thalib RA, seorang lelaki melaporkan: bahwa perempuan yang dia sebagai walinya menikah tanpa seijin darinya, menanggapi laporan tersebut, Ali mengatakan: akan saya cek dulu, apakah perempuan itu menikah dengan lelaki yang sepadan, maka saya perbolehkan, dan bila tidak sepadan maka saya serahkan urusanya kepadamu. (Qurtubi 3:75)
Dengan persyaratan persyaratan ini, yang lebih memihak pada kaum perempuan maka tidak ada lagi masalah gender yang selalu dituntut oleh para aktivis, karena mereka telah menemukan dan memiliki hak dan kewajibannya, jadi bagi seorang gadis tidak bisa dipaksa oleh orang tuanya untuk menikah kalau tanpa persetujuanya, sehingga gadis tersebut bisa mengambil keputusan setuju tidaknya menikah dengan pilihan orang tua. Begitu pula bagi janda, dia mempunyai hak yang lebih, dan bebas menentukan pilihan, mengalahkan hak orang tua atau wali untuk menikah atau tidak. Dialah yang mengambil keputusan untuk melangsungkan pernikahan atau tidak, bahkan tanpa walipun pernikahan itu bisa berlangsung.
Pendapat ulama dalam permasalahan wali nikah bagi seorang janda adalah berdasar pada ayat di surat al baqarah (2) : 230 yang berbunyi:

حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ (البقرة

"sehingga dia (isteri yang dicerai suami dengan talak tiga) menikah dengan lelaki lain"
bahasa menikah adalah menunjukkan dalam pernikahan tersebut perempuan tidak dinikahkan oleh wali. Imam al Zuhri dan al Sya'by mengatakan bila perempuan janda menikah dengan suami yang sepadan (kufu) maka hukumnya sah walau tanpa wali, menurut Ibn Abd al Bari, perempuan janda bila telah dewasa dan cerdas boleh menikahkan dirinya walau tanpa wali seperti diperbolehkanya melakukan transaksi jual beli. Bahkan menurut Aisyah (istri Rasulullah SAW ) perempuan yang telah dewasa (baik gadis maupun janda) bisa menikahkan dirinya, sebagaimana yang beliau lakukan terhadap keponakan keponakannya yang walinya tidak ada ditempat. (lihat al Tamhid: Ibn Abdul Bar Juz 19 hal 96, Aunul Ma'bud Juz 6 hal 87, Syarah Sunan Ibn Majah juz 1 hal 134, dan al Hujjah : al Syaibani juz 3 hal 110)

Hak Cerai
Selain persetujuanya dalam pernikahan merupakan syarat yang akan menentukan kelangsungan hidup berumah tangga, perempuan juga mempunyai hak yang sama dimiliki oleh lelaki, yaitu hak menceraikan suaminya, hal itu telah diantisipasi oleh Rasulullah SAW bahwa nantinya akan terjadi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka si isteri bisa melepaskan dirinya dari belenggu sang suami yang dia anggap telah melanggar hak haknya sebagai isteri. Ini kita lihat pada peristiwa Barirah yang menceraikan suaminya (Mughits), bahkan Rasulullah SAW ikut turun tangan dalam mendamaikan kemelut rumah tangga tersebut dengan meminta kepada Bariroh (karena dia adalah bekas pembantunya) dengan mengingatkan: Rujuklah dengan Mughits karena dia adalah suamimu, ayah dari anak anakmu, tapi Bariroh kembali menanyakan: apakah ini perintah (agama)? Beliau menjawab: saya hanya menghimbau, dan jawab dia: saya tidak butuh kepada dia. Lebih jelas dan lengkap mari kita simak hadits berikut:

عن بن عباس أن زوج بريرة يقال له مغيث كأني أنظر إليه يطوف خلفها يبكي ودموعه تسيل على لحيته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم لعباس: يا عباس ألا تعجب من حب مغيث بريرة ومن بغض بريرة مغيثا؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: لو راجعته ! قالت: يا رسول الله تأمرني؟ قال: إنما أنا أشفع، قالت: لا حاجة لي فيه
صحيح البخاري ج: 5 ص: 2023
“Dari Ibn Abbas bercerita: bahwa suami Bariroh yang bernama Mughits menangis tersedu mengejar ngejar bariroh, air matanya mengalir sampai membasahi jenggotnya, Nabi SAW berkata pada Abbas (yang ada disamping Nabi SAW): apa kamu tidak kagum atas cinta Mughits kepada Bariroh, dan kebencian Bariroh atas Mughits? Nabi SAW berkata (kepada Bariroh): Kumohon kamu mau merujuknya, jawabnya: Ya Rasulallah, (apakah) ini perintah? Jawab beliau: saya hanya menghimbau, jawab Bariroh: saya tidak butuh dia” (HR Bukhori 5:2023)
dalam riwayat al Darimi ada tambahan:

فجعلت تقول لرسول الله صلى الله عليه وسلم: أليس لي أن أفارقه؟ قال: بلى، قالت: فقد فارقته
سنن الدارمي ج: 2 ص: 223

Dalam riwayat lain dari Aisyah: Bariroh setelah dihimbau untuk mau merujuk suaminya dia mengatakan kepada Rasulullah SAW: Apakah saya tidak punya Hak menceraikanya? Jawab beliau: Ya, (kamu punya hak itu), maka berkatalah Bariroh: Dia telah aku ceraikan” (HR Darimi 2:223)

فقال صلى الله عليه وسلم: ما بال أقوام يشترطون شروطا ليست في كتاب الله ؟ وكان لبريرة زوج فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم إن شاءت أن تمكث مع زوجها كما هي، وإن شاءت فارقته، ففارقته
صحيح ابن حبان ج: 11 ص: 521

"Rasulullah SAW bersabda: Kenapa para tokoh membuat persyaratan-persyaratan yang tidak ada dalam al Qur'an (tentang perceraian) . Rasulullah SAW memberikan pilihan kepada Bariroh terhadap suaminya, bila dia mau silahkan tinggal dengan suaminya, dan bila dia mau menceraikanya, maka (keputusan Bariroh): menceraikan suaminya" (HR Ibnu Hibban 11: 521)

Kalau kita memahami norma dan aturan agama seperti diatas dan bisa dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat, maka tidak ada lagi kekerasan atau pelecehan yang berbasis jender. Karena seorang gadis tidak bisa lagi dipaksa menikah dengan seorang lelaki yang bukan pilihanya dan tidak ia sukai, begitu pula seorang janda mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan calon suami tanpa harus ada wali yang hadir asal lelaki tersebut sepadan dan Kafaah bagi dirinya sesuai norma umum.
Begitu pula dalam kasus poligami yang marak dibicarakan pada akhir ini, seorang lelaki tidak bisa seenaknya sendiri menikah lagi dengan perempuan kedua dan seterusnya (berpoligami) yang tanpa memenuhi persyaratan persyaratan agama (dibahas dalam: POLIGAMI, SOLUSI HAJAT UMAT BUKAN PEMUAS SYAHWAT). Dan bagi perempuan yang akan dinikahi secara poligami mempunyai pilihan menerima atau menolaknya tanpa harus ada tekanan dari pihak manapun. Dan bagi isteri yang akan dipoligami dia bisa menolak poligami tersebut, atau dengan menceraikan sang suami, kalau memang sudah tidak mau berkumpul lagi dengan suami dan tidak membutuhkannya, karena dianggap pelecehan, atau tindakan yang menurunkan martabat perempuan, semua kembali pada diri si perempuan, jadi bukan agama yang menjadi kambing hitam dalam aturan perkawinan.
Mungkin solusi terbaik adalah bagi para wali atau orang tua dalam menikahkan putrinya dengan memberi persyaratan untuk tidak dimadu, hal ini seperti dilakukan oleh beliau Rasulullah SAW atas para menantunya.

* A. Adib Masruhan
Alumni Futuhiyyah dan Staff pengajar di Pondok Pesantren Almaghfur Mranggen.